Thursday 8 September 2011

Bumi Manusia


Judul : Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi :
Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah, Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."


Membaca buku ini membuat saya terkagum-kagum pada Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis. Dia adalah penulis yang mampu memahami dan mengamati dengan baik kebudayaan dan kehidupan di sekitarnya. Ia menggambarkan dengan tajam dan tepat bagaimana karakter bangsa Eropa, Asia, dan Pribumi. Saya bisa melihat betapa tidak adilnya hukum zaman dulu, lebih mengutamakan kulit putih daripada kulit cokelat. Padahal sudah jelas kalau pemerintahan kolonial itu memang bersalah, sudah mengacak-acak negeri orang malah ditambah dengan menginjak-injak para manusianya.

Pada zaman penjajahan Belanda selama 350 tahun itu, memang dibutuhkan buku seperti ini. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang pejuang, bukan dengan tombak dan senjata tajam, namun dengan tulisannya. Kata-katanya yang setajam pisau seharusnya bisa memompa semangat bangsa Indonesia untuk terus melawan dan berjuang demi kemerdekaan.

Saya suka bagian diskusi Minke, pemuda pribumi yang terpelajar itu. Ia terlahir sebagai Jawa namun disekolahkan di Sekolah Belanda. Saya mengerti pergulatan batinnya untuk memilih mengikuti adat feodal Jawa yang tidak masuk akal ataukah liberalisme bangsa Eropa. Saya bisa melihat betapa kritis pikiran seorang Minke ini dalam memahami kehidupan di sekitarnya. Dia banyak bertanya, berdiskusi, mengemukakan pendapatnya. Semua itu membuatnya berbeda dan unik dari teman-teman sebayanya yang masih memikirkan cara bersenang-senang.

Penokohan dalam buku ini sangatlah lengkap dan kuat. Saya terutama mengagumi sosok Nyai Ontosoroh yang mampu bangkit dari keterpurukan nasibnya menjadi orang yang luar biasa lewat otodidak. Berapa banyak orang yang bisa sukses lewat otodidak? Nyai Ontosoroh ini begitu tekun dan gigih memperjuangkan apa yang menjadi haknya sekalipun ia tidak bisa melupakan kepahitan nasibnya sendiri.

Bumi Manusia, menceritakan berbagai macam manusia dari berbagai ras yang tinggal di Indonesia pada zaman kolonial. Buku ini pernah dilarang untuk beredar dengan alasan isinya yang penuh doktrin komunisme sekalipun tidak ada hal seperti itu di dalam bukunya. Pramoedya Ananta Toer sendiri menjadi satu-satunya wakil Indonesia dalam penghargaan Nobel sastra. Karyanya ini menurut saya sangat berani dalam mencerca dan mengutarakan kejujuran. Diciptakan secara lisan pertama kali saat Pramoedya Ananta Toer dipenjara di Pulau Buru (karena itulah dinamakan Tetralogi Buru), saya bisa melihat betapa gigihnya sang penulis karena bahkan dalam keadaan seperti itupun ia tidak pernah berhenti mengekspresikan buah-buah pikirannya.
 

Yang membuat buku ini sangat "menendang" bagi saya adalah percakapan-percakapan Minke dengan tokoh-tokoh lainnya juga pikirannya yang penuh analisis.

Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.  

Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. 

Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini.  (Betul sekali, makanya saya lebih suka cerita orang miskin dibandingkan cerita orang kaya model Gossip Girl itu)

Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.

Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. 
 
Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. 

Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang. 

Surat-surat Miriam de la Croix dan Sarah de la Croix pada Minke juga luar biasa. Bisa saya lihat betapa jahat bangsa Eropa dan betapa menyedihkan bangsa Indonesia. Betul, katanya. Tombak melawan peluru, bagaimana bisa menang? Belanda itu begitu tidak adil. 

"Tidak, sayang. Di Nederland ada segalanya. Semua saja yang Juffrouw inginkan bisa diperoleh."

"Kalau di Nederland sana ada segalanya, untuk apa orang Eropa datang kemari?"

Memang betul. Orang Eropa hanya bisa merampok milik bangsa lain. Dan karena bangsa Indonesia masih bodoh dan tidak sekolah, jadilah mereka dijajah begitu lama. 

Di akhir cerita, Minke tak bisa melawan hukum Belanda. Ia yang tadinya memuja ilmu Eropa karena disekolahkan di sekolah Belanda jadi membenci ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Dia pikir dengan darah pribumi ningrat (ayahnya bupati) dan latar belakang pendidikannya, ia bisa diperlakukan adil secara hukum. Punya privilege begitu. Tapi ia salah. Selamanya pribumi tetaplah di bawah.

Humanisme, feminisme, dan pembelaan terhadap HAM sangat kuat dalam buku ini. Luar biasa bagaimana Pramoedya Ananta Toer bisa menuliskan itu semua dalam sebuah buku.

Lima bintang!!!

Dreamer is going crazy... Eight months left zzzz....


:)  

No comments:

Post a Comment