Sunday 30 June 2013

Pride and Prejudice


Judul : Pride and Prejudice
Penulis : Jane Austen
Tebal : 588 halaman
Penerbit : Qanita

"Sejak awal, perangaimu, keangkuhanmu, sikap acuh tak acuhmu, jadi landasan kebencianku padamu. Belum sebulan mengenalmu, aku sudah tahu bahwa kau adalah pria yang takkan mungkin kunikahi."

Di mata Elizabeth, Mr. Darcy tidak pernah menjadi sosok yang memesona. Baginya, laki-laki itu angkuh, sombong, dan menyebalkan. Elizabeth membenci tatapannya yang merendahkan, cara bicaranya yang meremehkan, dan segala hal tentang bangsawan kaya raya itu. Kebencian itu semakin bertambah ketika Elizabeth tahu bahwa Mr. Darcy telah melakukan hal yang menurutnya tak bisa dimaafkan. 

Butuh lama bagi Elizabeth untuk memahami sisi lain dari Mr. Darcy dan menerima kenyataan akan kebaikannya yang tersembunyi. Dan, ketika akhirnya gadis itu menyadari perasaannya kepada Mr. Darcy telah berkembang menjadi cinta, dia pun jadi ragu, akankah dia bisa menebus prasangkanya yang sangat buruk pada laki-laki itu? Lalu, akankah cintanya yang baru tumbuh itu menjadi sia-sia?

Review:
Siapa sih yang nggak kenal Jane Austen? Saya sendiri sering sekali mendengar nama penulis ini walaupun saya belum pernah membaca karyanya sama sekali. Karena rasa penasaran, saya pun memilih untuk membaca karyanya yang paling terkenal. Saya ingin tahu apa yang membuat Jane Austen sangat digemari banyak orang.

Begitu saya membaca halaman pertama, saya langsung mengecek judul di depan buku. Apa saya sudah memegang buku yang benar? Saya selalu punya pikiran kalau sastra klasik adalah bacaan yang berat dan membosankan, namun selalu memberi kesan mendalam dan tidak mudah dilupakan. Tapi Pride and Prejudice jauh dari berat. Terlalu ringan malah menurut saya.

Ini adalah kisah masyarakat kelas atas di abad ke-19. Wanita pada zaman itu tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Tujuan hidup mereka hanyalah menikah dengan pria bereputasi baik, kaya, dan bergelar tinggi. Yah, apa yang bisa diharapkan? Percakapan keluarga Bennett benar-benar terasa sangat dangkal. Sekalipun Elizabeth dan Jane lumayan pintar, obrolan mereka pun tidak jauh-jauh dari laki-laki. Elizabeth malah kerap kali membicarakan keburukan Mr. Darcy yang didengarnya dari orang lain. 

Jangan salah. Saya suka romance kok. Tapi romance yang memiliki konflik, bukan yang datar seperti ini. Mungkin kalau bukunya tipis, saya tidak bakal komentar. Tapi buku ini 588 halaman dan sedikit sekali yang terjadi. Semuanya hanya berputar di Elizabeth yang selalu salah paham akan tindakan Mr. Darcy. Saya suka sih ide salah paham ini. Tapi penyampaiannya terlalu bertele-tele. Belum lagi saya lelah membaca kedangkalan ibu dan adik-adik Elizabeth. 

Sekalipun begitu, saya cukup suka dengan dialog-dialognya yang sinis dan penuh humor. Apalagi interaksi antara ayah dan ibu Elizabeth. Yang satu tidak suka dan selalu menolak, yang satu sama sekali tidak sadar sedang dikritik. Duhh!! Dan tentu saja Mr. Darcy kita yang paling populer. Penggambaran tokoh ini sangat bagus. Saya bisa membayangkan betapa kikuk dan kakunya Mr. Darcy dalam bersosialisasi, betapa kelabakannya dia sewaktu berhadapan dengan Elizabeth, betapa besar rasa sayangnya pada Elizabeth sehingga ia sama sekali tidak peduli dengan keluarga gadis itu yang memalukan. 

Sekarang saya mengerti kenapa Jane Austen sangat disukai banyak pembaca. Pada zaman itu, Jane Austen termasuk sangat modern dengan pemikirannya yang maju dan feminis. Cerita yang ditulisnya ringan dan mudah dinikmati banyak kalangan, dari yang muda sampai dewasa. Dan terutama karena Mr. Darcy yang terlalu sempurna dibandingkan dengan pria-pria zaman itu. Hahaha...

Catatan: Review ini ditulis dalam rangka baca bareng BBI bulan Juni dengan tema Sastra Eropa.

3/5

Saturday 22 June 2013

City of Glass


Title : City of Glass (The Mortal Instruments #3)
Writer : Cassandra Clare
Number of Page : 541
Publisher : Mcelderry Books

To save her mother's life, Clary must travel to the City of Glass, the ancestral home of the Shadowhunters - never mind that entering the city without permission is against the Law, and breaking the Law could mean death. To make things worse, she learns that Jace does not want her there, and Simon has been thrown in prison by the Shadowhunters, who are deeply suspicious of a vampire who can withstand sunlight.

As Clary uncovers more about her family's past, she finds an ally in mysterious Shadowhunter Sebastian. With Valentine mustering the full force of his power to destroy all Shadowhunters forever, their only chance to defeat him is to fight alongside their eternal enemies. But can Downworlders and Shadowhunters put aside their hatred to work together? While Jace realizes exactly how much he's willing to risk for Clary, can she harness her newfound powers to help save the Glass City - whatever the cost?

In my opinion:
It started quite well for me. The tension was already built up from the previous book. So, this time all characters just jumped to their action completely.

Clary planned to go to Idris. She was seeking for a magician who could wake her mother up. But, Jace interfered with her plan because he didn't want Clary to go. And of course his plan was even worse because on the way to Idris, a massive group of devils attacked them and Simon was injured (again, lol... why was he always the unfortunate one?)

Because Clary was left behind, she opened magic portal by herself. Despite Luke's disagreement, she did it and both of them arrived at the outer part of Idris protection wall. From this moment on, all main characters were in many different locations. They had their own roles and I was so engaged with all the things that happened. How could Cassandra Clare write all those things? Nothing was left out and it was a lot. Isabelle, Jace, Clary, Alec, Simon, Luke... Jumping from one character to another, it was very interesting. I always love third person POV who knows everything and this book was really something. Intense plots.

I love the story, the conflicts, the plots, but I don't like the execution. I don't know why it felt flat. Like a song without a soul. I kept thinking that the characters were empty. The death of Max was even ridiculous. It was just something that popped up out of nowhere and I got the impression that nobody grieved about it. And Sebastian... I felt he was lame, evil but in a bad way. I didn't know what was in his head and the reasons for everything he did. He showed up and tadaaaaa.... he was the traitor. Duh!! And Clary... seriously? She was the main character, but I thought she was just a doll with no feeling. Her relationship with her mother, Jace, and all of her friends felt unreal for me. I didn't even think she could love Jace. Probably it was because her narrative sections? I was not sure.  But she was just super weird. When she was angry to her mother, I was like... why was she angry? I could not believe she had emotion!! Oh, why did Sebastian kiss Clary? What is it with Cassandra Clare and the incestuous thingy? Ugh... And I haven't mentioned Jace. His character was ruined completely. I just didn't believe in him anymore. Anything he did was just stupid and annoying. The way he felt about Valentine and his adopted family... He should thank for what he had. He had a lot of people cared about him and he still complained. How sad his life was, how lonely he was... I thought bad boy should not be this soft and melancholic. It just didn't make sense. For me, the best character was Simon because he was constant and real since the first book.

“You could have had anything else in the world, and you asked for me."
She smiled up at him. Filthy as he was, covered in blood and dirt, he was the most beautiful thing she'd ever seen.
"But I don't want anything else in the world.”  (I usually cry for this kind of dialog, the desperate wish, the only one thing that matter... but strangely for this book I didn't)

And there are still three more books. But Valentine was already dead, so what was gonna happen next?

Anyway, despite of the bad writing, I still love the world of Cassandra Clare. 

4/5

Sunday 16 June 2013

Annie's Song


Judul : Annie's Song
Penulis : Catherine Anderson
Tebal : 410 halaman
Penerbit : Avon

Annie Trimble lives in a solitary world that no one enters or understands. As delicate and beautiful as the tender blossoms of the Oregon spring, she is shunned by a town that misinterprets her affliction. But cruelty cannot destroy the love Annie holds in her heart.
Alex Montgomery is horrified to learn his wild younger brother forced himself on a helpless "idiot girl." Tormented by guilt, Alex agrees to marry her and raise the babe she carries as his own. But he never dreams he will grow to cherish his lovely, mute, misjudged Annie—, her childlike innocence, her womanly charms and the wondrous way she views her world. And he becomes determined to break through the wall of silence surrounding her;to heal...and to healed by Annie's sweet song of love.
Review:
Saya baca buku ini karena direkomendasi sama teman. Saya sendiri tidak tahu apa isinya karena saya sama sekali tidak membaca sinopsis di belakang buku. Begitu saya membaca prolog, saya langsung kaget. Baru juga prolog, tokoh utamanya sudah diperkosa. Ya, ampun.
Annie Trimble selalu dianggap bodoh dan idiot oleh orang-orang di sekitarnya. Sejak menderita demam di usia 5 tahun, ia berubah menjadi bisu dan tidak pernah memahami orang-orang sekitarnya. Begitulah ia hidup, dengan cap sebagai orang tak berguna dan aib bagi keluarganya. 
Douglas Montgomery berpikir memperkosa gadis idiot bukanlah masalah besar. Lagipula Annie tidak bakal mengerti. Tapi kakaknya mengusirnya dari rumah sejak kejadian itu. Ugh, cowok gila dasar! 
Atas rasa bersalah, Alex menikahi Annie yang  sedang hamil anak adiknya. Awalnya ia membiarkan pengurus rumahnya yang mengurus Annie. Ia tidak mau peduli. Tapi suatu hari ia menemukan Annie di attic rumahnya sedang bermain "menjamu tamu" sendirian. Gadis itu membuat boneka manusia dari barang bekas dan menganggap boneka itu temannya. Saya nangis di bagian ini. Kasihan saja lihat Annie yang nggak pernah dianggap sama orang dan hidup di dunianya sendiri. Tapi untungnya Alex sadar. Annie bukanlah idiot, dia hanya tuli. Sumpah, saya bingung sama orang zaman dulu. Kok bisa-bisanya nggak tahu kalau anak sendiri tuli? Bertahun-tahun tinggal satu rumah, masa nggak bisa nebak? Malah merasa malu sama anak sendiri. Beneran sebel sama orang tua Annie.
Alex berusaha memahami Annie sejak saat itu. Ia menemukan kalau Annie menyukai musik sehingga membelikan gadis itu segala macam alat musik. Kebetulan Annie hanya bisa mendengar bunyi-bunyi berfrekuensi tinggi. Alex juga bersabar mengajari Annie ilmu-ilmu yang seharusnya didapat gadis itu di sekolah. Bayangkan Annie cuma bisa menghitung sampai 40, thanks to her parents! Selain itu, Alex juga belajar bahasa isyarat biar bisa komunikasi dengan istrinya itu. Jujur, saya salut sama Alex yang bisa sesabar dan setulus itu. 
Buku ini unik karena menggunakan tema orang tuli. Saya suka dengan penggambaran Catherine Anderson mengenai perasaan dan pikiran Annie yang polos. Apalagi bagian Annie yang berpikir kalau ia akan bertelur seperti ayam saat sadar dia hamil. Si Alex sampai susah sendiri menjelaskan topik itu. 
Nice book :D
4/5

Thursday 13 June 2013

I For You


Judul : I For You
Penulis : Orizuka
Tebal : 384 halaman
Penerbit : Gagasmedia

Princessa, seperti namanya, adalah "putri" yang sangat cantik, kaya, dan dikagumi banyak teman sekolahnya. Di sampingnya selalu ada Benjamin "Benji" Andrews, sang pangeran berkuda putih yang akan selalu melindunginya. Mereka berdua tak terpisahkan sejak pertama kali masuk sekolah. 

Suatu hari wali kelas keduanya memutuskan untuk membuat denah tempat duduk yang berbeda. Princessa diharuskan duduk di sebelah Surya, si miskin yang selalu serius mempertahankan beasiswanya. Bagaikan dua kutub magnet yang berbeda, Princessa tertarik pada cowok itu.

Namun saat Surya membalas perasaan Princessa, ia dihadapi pada kenyataan kalau ia harus membagi cewek itu dengan Benji. Princessa tidak pernah mau menyatakan alasannya dan itu membuat masalah tidak pernah selesai. Sementara di sisi lain, Benji sendiri jatuh cinta pada adik Surya. 

Rahasia apa yang disembunyikan Benji dan Princessa? Kenapa mereka tidak bisa berpisah satu sama lain?

Review:
Ini salah satu teenlit terunik yang pernah saya baca. Dua pasangan tokoh utamanya sudah ditentukan sejak awal, namun masalahnya terletak pada rahasia aneh yang disimpan Princessa dan Benji. Dan rahasia itu benar-benar tidak disangka. Oh, saya tahu kalau Princessa punya penyakit. Saya malah sempat berpikir kalau akhirnya bakal tragis. Saya sih sejak di tengah-tengah cerita sudah mulai bisa menebak penyakitnya. Namun sayangnya meleset sedikit. Penyakitnya terlalu spesifik sih dan saya cuma pernah baca penyakit itu di buku textbook doang, hahaha...

"Bintang paling terang itu yang paling cepat mati."

Biasanya kalau ada dua pasangan di dalam satu buku, pasangan sekundernya itu nggak penting banget. Tapi di buku ini saya malah lebih suka hubungan Benji dan Bulan. Sikap mereka terlihat matang dan dewasa dalam menghadapi masalah. Walaupun begitu, kisah Surya dan Princessa juga tidak kalah menarik. Lucunya Princessa yang nembak duluan, sementara Surya benci banget sama cewek sombong itu. 

Benjamin Andrews kyaaaaaaaaaa!!! Keren banget ini orang.

Dan endingnya sweet banget. Cara ngomong si Benji dan Surya beneran mantabh. Bikin meleleh langsung ;D

Setelah membaca buku ini, saya mulai berpikir akan mencoba karya-karya Orizuka lainnya. Sebelumnya saya tidak begitu puas saat membaca Infinitely Yours, tapi yang ini beneran bagus. Saya mengerti sekarang kenapa banyak yang ngefans sama Orizuka.

4/5

Wednesday 12 June 2013

Lapis Lazuli


Judul : Lapis Lazuli
Penulis : Fenny Wong
Tebal : 360 halaman
Penerbit : Diva Press

Belasan tahun lalu, Kerajaan Gondvana terpaksa menyerah di bawah pemerintahan Kerajaan Luraxia. Sang raja menyerahkan putrinya pada raja Luraxia untuk dijadikan selir dengan berat hati. Namun, sang putri meninggal dalam kesendiriannya di tempat asing.

Kini, Pangeran Aran sudah siap menyerang Kerajaan Luraxia demi balas dendamnya atas kematian kakaknya itu. Tapi sang ayah tidak mengizinkannya karena ia punya rencana lain.

Sementara Kerajaan Gondvana punya Pangeran Aran yang berdedikasi kuat terhadap kerajaannya, Kerajaan Luraxia dipenuhi oleh para pangeran yang ingin berebut kekuasaan. Sekalipun begitu, para pangeran itu sadar akan rencana penyerangan Pangeran Aran. Dan mereka pun mengajukan gencatan senjata dengan memberi banyak intan dan upeti yang jumlahnya sangat banyak.

Tapi Raja Gondvana hanya punya satu keinginan: Putri Lethia, putri tercantik di Kerajaan Luraxia. Ia hanya ingin mengulang apa yang terjadi dulu pada putri kesayangannya. Mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Tanpa sepengetahuan kakak kandungnya, Lethia diculik oleh kakak-kakak tirinya dan dibawa ke istana Gondvana untuk dipersembahkan sebagai tahanan Aran. Perdamaian pun berhasil disepakati.

Hanya saja Pangeran Balvier, kakak kandung Lethia tidak mau menerima kenyataan kalau adiknya terjebak di istana Gondvana. Ia mempersiapkan perang untuk merebut Lethia kembali. Ia bahkan tidak peduli pada daerah kekuasaannya yang siap direbut oleh kakak-kakaknya yang lain. 

Saat Aran akhirnya mendapatkan perang yang diinginkannya, ia pun enggan meneruskan dendamnya. Karena ia tidak mungkin membunuh Balvier dan menghancurkan Luraxia... saat ia jatuh cinta pada putri kerajaan itu.

Review:
Sejak saya membaca cerita ini di blog Fenny, saya tidak pernah bisa lupa dengan kisahnya. Waktu itu, saya menganggap ceritanya terlalu diburu-buru dan karakternya kurang diperdalam. Saya memutuskan untuk membacanya lagi setelah diterbitkan karena saya ingin tahu apa yang diubah dalam ceritanya.

Ternyata jalan cerita dan plotnya banyak yang diubah. Tokoh pentingnya lebih mendapatkan porsi dialog dan narasi. Interaksi Aran dan Lethia juga lebih banyak. Namun pendapat saya tetap satu, Lapis Lazuli adalah cerita paling menarik yang pernah saya baca. Dan saya beneran serius. Dari entah berapa banyak novel dan buku cerita yang saya baca, saya paling suka Lapis Lazuli. Kenapa? Bukan karena teknik menulis, dialog, tokoh, adegan, atau segala tetek-bengek tentang cara menulis novel yang baik. Tapi murni karena ceritanya. Ini sangat subjektif ya. Saya suka fiksi. Kalau dibedah lagi, saya mengakui saya jauh lebih suka fantasi, drama, dan kisah tragedi. Dan kalau mau lebih spesifik lagi, saya suka fantasi yang melibatkan perang, kerajaan, putri, pangeran, pengkhianatan, tragedi, dan ending yang bittersweet (pengakuan: saya memang penggemar fanatik Putri Huan Zhu). Jadi, nggak aneh kalau saya suka banget sama Lapis Lazuli. Semua unsur yang saya sebutkan barusan ada di dalam buku ini. Saya sampai surprised sendiri. 

Sekarang soal detail... Novel ini memang kurang detail. Saya tahu kalau semuanya demi memadatkan isi cerita dalam satu buku. Padahal seharusnya kisah ini bisa diperpanjang sedikit menjadi dua buku supaya lebih terasa emosi dan ketegangannya. Saya masih tetap suka dengan gaya menulis Fenny yang super apik. Dan saya terkejut kalau dia menggunakan bahasa jadul yang sangat sastra dan puitis untuk dialog-dialognya. Mungkin tujuannya supaya menunjukkan sisi medieval dan kunonya. Saya tidak masalah dengan itu. Sedikit cheesy dan aneh, tapi kan memang begitu orang zaman dulu bicara. 

Saya suka dengan sedikit latar belakang masing-masing tokohnya yang disebutkan di dalam buku ini. Semuanya punya kisah tragedi sendiri yang mendorong mereka melakukan kejahatan dan juga balas budi. Jenderal Antares, Pangeran Balvier, Pangeran Aran, Putri Lethia, Pangeran Alderamin... Singkat namun membekas saking kerennya. 

Dan endingnya... Saya tidak tahu harus komentar apa. Perumpamaan anak petani dan gadis penjual bunga itu sukses bikin saya mewek dahhh. Terlalu bagus. Tidak perlu kata cinta sama sekali, cukup satu adegan itu. Jleb...

Perfecto magnifico!! Sayangnya kurang panjang dan kurang detail. Dan typo-nya, ugh...

4/5

Sunday 9 June 2013

A Night Like This


Judul : A Night Like This (Smythe-Smith Quartet #2)
Penulis : Julia Quinn
Tebal : 229 halaman
Penerbit Ebook : Avon

Anne Wynter might not be who she says she is…

But she's managing quite well as a governess to three highborn young ladies. Her job can be a challenge — in a single week she finds herself hiding in a closet full of tubas, playing an evil queen in a play that might be a tragedy (or might be a comedy—no one is sure), and tending to the wounds of the oh-so-dashing Earl of Winstead. After years of dodging unwanted advances, he's the first man who has truly tempted her, and it's getting harder and harder to remind herself that a governess has no business flirting with a nobleman.

Daniel Smythe-Smith might be in mortal danger…

But that's not going to stop the young earl from falling in love. And when he spies a mysterious woman at his family's annual musicale, he vows to pursue her, even if that means spending his days with a ten-year-old who thinks she's a unicorn. But Daniel has an enemy, one who has vowed to see him dead. And when Anne is thrown into peril, he will stop at nothing to ensure their happy ending…

Review:
Novel ini memiliki dua tokoh utama yang latar belakangnya sangat menarik. Anne Wynter, seorang governess yang memiliki masa lalu yang kelam dan dibuang oleh keluarganya... Daniel Smythe-Smith, seorang earl yang tidak sengaja menembak temannya hingga cacat dan diasingkan ke luar negeri... Dua orang terbuang yang jatuh cinta dengan diwarnai ancaman pembunuhan dari kedua musuh masing-masing. Pasti seru nih.

Memang seru. Interaksi keduanya tidak begitu banyak karena harus sembunyi-sembunyi (saya suka sekali yang terlarang begini, eaaaa...), namun kekonyolan sepupu-sepupu Daniel cukup menghibur saya sepanjang masa pendekatan itu. Semuanya dimulai dengan sangat bagus, tapi sayangnya akhirnya tidak begitu. Entah kenapa adegan Anne yang disekap dan Daniel mengejar dengan dibantu teman-temannya terasa kosong. Melempem begitu. Seakan-akan saya baru sadar... hey! Anne dan Daniel saling mencintai, lho! Saya kan jadi makin bingung. Sebelum adegan itu saya membaca apa sebenarnya? Tampaknya saya pembaca yang aneh.

Dan saya agak tidak setuju dengan Anne yang menawarkan diri menjadi mistress Daniel setelah menolak lamaran pria itu. Kesannya kok si Anne jadi berubah total. Padahal sebelumnya dia jauh lebih tertutup dan menjaga diri. Tidak peduli apapun, dia akan selalu menjaga dirinya. Menurut saya, kesediaannya menjadi mistress itu agak bertolak belakang dengan karakternya.

Tapi, ya sudahlah. Saya tetap penasaran sama Hugh Prentice, pria dingin yang dibuat cacat oleh Daniel. Jadi, saya akan menunggu buku selanjutnya.

3/5